Banyak orang bilang, belajar di sekolah itu untuk
mencari ilmu. Sekarang mari kita tilik kenyataan yang ada. Pada saat masih
kecil (TK/PG) sekolah merupakan sesuatu yang menyenangkan, sekolah tempat main
dan belajar. Belajar pun terkadang terasa seperti bermain.
Beranjak ke Sekolah Dasar (SD), orang tua mulai
terlihat menuntut. Beliau-beliau bilang sekolah itu tempat menuntut dan mencari
ilmu. Selain di sekolah tidak ada tempat lain yang menyediakan fasilitas
pembelajaran sekondusif di sekolah. Ok, itu benar, mari kita lihat ada apa di
dalam sebuah sekolah dasar.
Di sana anak-anak belajar mempelajari apa yang
diajari oleh bapak/ibu gurunya. Setiap ada pertanyaan, selalu bisa menjawab.
Setiap ada tugas dikerjakan. Kemudian anak-anak akan memperoleh sesuatu yang
disebut dengan nilai. Sekolah dasar merupakan dasar dari segala pelajaran.
Setelah mengamati dan merasakan menjadi anak SD ada satu pikiran yang
mengganjal. Bagaimana sebaiknya memperkenalkan ilmu pada anak-anak agar mau
belajar dan menguasai ilmu tersebut? apabila dengan patokan nilai, muncul lagi
sebuah pertanyaan. Bagaimana seorang guru mampu memahami murid yang diampunya?
apakah hanya dengan nilai-nilai-nya saja? Dapatkah seorang guru meng-handle
sekian puluh murid dalam satu waktu?
Beranjak ke SMP. Di SMP, pergaulan dan teknologi
sudah semakin maju dan dikenal. Ada siswa yang saat pelajaran tidak pernah
memperhatikan, kalo ditanya ga bisa jawab, tiba-tiba saat ulangan dia dapat
nilai bagus, bukan karena ia mampu, tapi karena dapat "bisikan setan"
(baca: contekan dan semacamnya) saat pembagian rapor, anak itu naik kelas
dengan hasil yang sangat bagus, tetapi tidak dengan kawannya yang sudah
berusaha mati-matian untuk mengerti segala macam ilmu dan yang hasil yang ia
dapatkan tidak sebanding dengan apa usahanya.
Naik tingkat lagi ke SMA/SMK Muncul sebuah
pemikiran, sebenarnya untuk apa masuk SMA kalo ilmunya ga kepake? apakah masih
tergantung gengsi? mending masuk SMK kalau melihat hasil dalam jangka pendek.
SMK sebenarnya malah lebih menjanjikan sebuah profesi dari pada SMA. Di SMA,
proses pembelajaran tidak jauh berbeda dari SMP hanya saja materinya jauh lebih
mendalam dan lebih susah. Fakta yang terjadi saat SMA. Saat pembelajaran, siswa
merasa masa bodoh dan berpikiran "Yang Penting Dapat Nilai Bagus".
Akhir dari pertanyaan ini adalah, apakah sekolah masih bisa objektif dalam
menilai siswa ? apabila iya, mengapa Nilai kognitif masih mendapat tempat
superior dalam penilaian akhir? padahal yang digunakan dalam kehidupan nyata
BUKANLAH TEORI tetapi PRAKTEK.
Apa fungsi sekolah yang sebenarnya. Mungkin seorang
politisi mengatakan sebagai tempat mencerdaskan kehidupan bangsa, atau seorang
guru yang berpendapat sekolah sebagai tempat menyampaikan ilmu yang mereka
miliki. Namun kebanyakan orang pasti menjawab sekolah sebagai tempat menuntut
ilmu. Tapi dewasa kini, kita sering mendengar istilah mencari nilai. Sebenarnya
banyak anak usia sekolah yang menurutnya berangkat sekolah demi mencari ilmu
tapi kenyataannya mereka hanyalah mencari nilai. Beberapa anak beranggapan
lebih baik mencari nilai tanpa mempedulikan pemahaman materi.
Beberapa guru memang terkadang berkata, “Kalau
ulangan jangan menyontek! Sekolah itu mencari ilmu bukan mencari nilai.”
Walaupun akhirnya kalimat tersebut hanya jadi pajangan belaka agar ia pantas
disebut guru. Karena tidak etis juga kalau guru mengatakan sekolah itu tidak
mencari ilmu, sekolah itu mencari nilai, agar lulus atau naik kelas. Saat
sekolah, kita hanya berpikir bagaimana mendapat nilai bagus saat
ulangan.Berpikir seperti itu memang tidak salah, yang salah adalah terkadang
kita tidak berpikir bagaimana caranya. Tidak peduli benar-benar paham materi
atau tidak, yang penting mendapat nilai bagus, hal itu sama saja dengan
menghalalkan NYONTEK.
Banyak hal yang harus dipikirkan ketimbang nilai.
Pengaplikasian dari ilmu yang didapat itulah yang lebih penting. Jika kita
mampu memahami semua materi pelajaran dan bisa menerapkannya ke dunia nyata,
berarti kita mampu untuk bersaing di dunia kerja. Jadi, jangan hanya duduk
untuk menghafal semua teori-teori, seseorang juga harus tanggap kepada
problematika yang ada di lingkungan sekitar.
Ilmu di masyarakat adalah ilmu yang sesungguhnya. Kita bisa berhadapan
langsung dengan masalah-masalah yang terjadi dan dapat membuat kita semakin
matang dalam menyelesaikannya. Terkadang teori tidak sesuai dengan praktek,
teori hanyalah ulasan secara global.
Sebagai seorang siswa sangat biasa kalau kita lebih
sering mengatakan “Aduh nilaiku jelek!” daripada “Aduh,aku tidak paham materi
ini!” saat mendapat hasil ulangan yang kurang memuaskan. Ini hanyalah contoh
kecil dari prioritas pencarian nilai daripada ilmu. Pemberlakuan nilai bukanlah
salah siapa pun, tujuan nilai yang utama hanyalah sebagai motivasi untuk
belajar lebih giat. Jika sekarang ini anak usia sekolah lebih mementingkan
nilai tanpa peduli pemahaman materi itu berasal dari diri masing-masing
individu. Pepatah pun mengatakan “Tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina” tidak ada
istilah “Carilah nilai sampai ke Ruang Guru.” Ditambah lagi ilmu yang kita
miliki akan kita gunakan selamanya, sedang nilai yang kita dapatkan di raport
akan kita simpan rapi suatu hari nanti.
Sebenarnya apa motivasi kita untuk pergi ke sekolah
perlu kita pikirkan. Kadang kita hanya ingin bertemu teman, pacar atau karena
melarikan diri dari orang tua. Atau mungkin karena anak seusia kita memang
wajarnya sekolah. Saya dulu pun pernah berpikir kalau sekolah hanyalah tempat
singgah sebelum bekerja, mendapat uang dan berkelurga. Tapi sebagai manusia
yang berakal pikiran, kita pasti pernah walaupun mungkin intensitasnya bisa
dihitung dengan jari, mendengarkan materi yang disampaikan karena ingin tahu
suatu hal seperti mengapa makan bakteri itu menyehatkan atau bagaimana besi
sebagai bahan utama penyusun kapal tidak tenggelam dan lain sebagainya. Itu
artinya kita mempunyai tujuan untuk mencari ilmu.
Sekolah diciptakan sebagai tempat untuk mewujudkan
salah satu tujuan Bangsa Indonesia dan sebagai tempat untuk menuntut ilmu bukan
mencari nilai. Jika akhirnya tercipta nilai, KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal),
kognitif, afektif dan lain sebagainya itu hanyalah sebagai pemacu semangat
untuk berprestasi dalam segala bidang. Bukan hanya akademis tapi juga non
akademis seperti cara bersosialisasi, berkerja sama, dan mengembangkan karakter
yang mungkin mudah kita dapatkan di sekolah. Jadi jangan buang waktumu sia-sia
di bangku sekolah dengan pencarian nilai yang tak seabadi ilmu.
Dikutip dari : Panji Setya Nur
Prawira